Oleh: Mujang Kurnia
Sudah sekitar empat tahun sejak
berkuliah aku hidup dalam perantauan, keseharian ku adalah belajar dan menuntut
ilmu sebagaimana yang ku tekadkan ketika awal berkuliah. Dan ternyata memang
benar, sampai pada penghujung kuliahku saat ini, hari-hari ku adalah belajar,
tetapi belajar yang ku lakukan bukan hanya didalam kelas, bahkan aku merasa
lebih banyak belajar bukan dalam kelas.
Ya, diluar kelas aku lebih banyak
belajar, belajar segalanya tentang kehidupan. Beruntunglah dahulu waktu awal-awal
kuliah aku menemukan kalimat, “Setiap
orang adalah guru dan setiap tempat adalah sekolah”, yang kini aku tuliskan
pada baligho besar di dinding rumah dimana aku tinggal. Merupakan sebuah
kalimat yang mengantarkan ku pada keyakinan untuk terus belajar dan belajar.
Mungkin belajar yang aku lakukan
berbeda dengan belajarnya anak-anak muda kebanyakan yang juga berkuliah bersama
ku diberbagai kampus, bisa jadi cara belajar mereka jauh lebih banyak, lebi
hebat, dan lebih-lebih lainnya, atau bahkan ada yang biasa saja. Tetapi
biarlah, setiap orang memiliki cara belajarnya masing-masing, aku belajar
dengan cara ku sendiri pun demikian dengan mereka.
Kenapa aku lebih banyak belajar
diluar kelas? Karena bagi ku justru diluar kelas lebih banyak pelajaran yang
bertebaran ketimbang didalam kelas, mungkin tergantung kemampuan daya tangkap
masing-masing orang, dan daya tangkapku lemah kalau sekedar dikelas, karena
yang aku pelajari bukan sekedar mata kuliah, melainkan ilmu kehidupan.
Ketika berkuliah, setidaknya ada
empat pelajaran yang ingin aku kuasai, pertama
adalah bagaimana aku bisa mengembangkan diri dan berkontribusi karena
dimasyarakat mereka tidak pernah bertanya berapa nilai yang kau peroleh. Kedua memiliki relasi dan kemampuan
komunikasi, kedepan tentu aku tidak akan hidup seorang diri, juga belum tentu
aku hidup didaerah dimana aku kini berpijak, serta sangat berkemungkinan besar
kebutuhan dan tantangan di masa depan akan lebih besar, karena dunia ini cukup
luas dan juga perkembangan peradaban akan terus berubah semakin modrn. Ketiga
mampu melewati persoalan hidup yang dihadapi, karena hidup ini keras, tentu aku
harus lebih keras dari kehidupan, tidak ada masa untuk berpangku tangan, setiap
orang memiliki persoalan dan kehidupannya masing-masing, aku harus lebih kuat,
lebih mampu melewati segalnya agar berakhir dalam kebaikan, karena hidup ini
bukan hanya sekedar lahir bekerja lalu mati, melainkan bagaimana kesudahannya,
maka harus dipersiapkan amal dan bekalnya. Dan yang keempat memiliki pengetahuan terhadap
keilmuan yang ku pilih pada jurusan. Dan dari kesemuanya itu, hanya poin ke
empat yang mungkin dipelajari di dalam kelas, selebihnya poin ke satu samapi
ketiga tidak ada didalam kelas melainkan harus kuperoleh diluar kelas.
Selain ketiga alasan yang tertera
pada poin satu sampai tiga diatas, kenapa aku lebih memilih banyak belajar
diluar kelas adalah karena memang tuntutan hidup, selain aku berkuliah sebagai
mahasiswa, juga aku harus belajar bagaimana bertahan hidup, yakni mencari
nafkah untuk tetap bisa belajar dan meyambung hidup dari hari kehari. Sebagai
pendatang, anak rantau meskipun tidak sampai nyebrang pulau seperti yang
lainnya, tetap saja aku harus berjuang untuk tetap bisa bertahan hidup, yakni
dengan menafkahi diri, karena hidup dikota orang tentu tidak ada yang gratis,
terlebih tidak memiliki sanak saudara, hanya hidup seorang diri.
Bermodalkan tekad untuk tetap
bisa kuliah, agar bisa seperti anak-anak lainnya yang mengenyam pendidikan
sampai jenjang tertinggi ternyata tidak mudah, mungkin yang lain melewatinya
dengan support dan subsidi dari orang
tua mereka, berbeda dengan ku, aku harus menyelesaikan segalanya seorang diri.
Oleh karena itu pula aku lebih
memilih untuk banyak belajar di luar kelas. Belajar untuk hidup dan menghidupi
diri, meski hanya untuk sekedar sesuap nasi, karena nasi dan makan ini memang
telah menjadi kebutuhan utama untuk tetap bisa bertahan hidup dan melanjutkan
keberlangsungan, bukan sekedar itu, dengan kita bisa makan maka kita akan
memiliki kekuatan untuk bisa bekerja, melanjutkan kehidupan, lebih jauhnya lagi
kita bisa beribadah kepada Allah. Dan aku sangat bersyukur sudah mulai
mempelajari cara memperolehnya. Tentu dengan tidak melupakan dan meninggalkan
tugas sebagai mahasiswa untuk tetap bisa belajar didalam kelas, dengan
mengupayakan untuk tetap memiliki nilai diatas rata-rata meskipun tidak menjadi
yang tertinggi setidaknya tidak pernah menjadi yang terbawah melainkan
tertinggi kedua pun sudah cukup bagi ku.
Untuk itu, saat ketika aku sedang
berada dikampung halaman, dirumah orang tua tempatnya aku dilahirkan, tempat
yang begitu nyaman dan menenangkan perasaan, tempat dimana penuh kegembiraan, beraktifitas
dengan tanpa harus memikirkan berbagai persoalan, sekolah tinggal berangkat,
tidur tinggal maunya, makan bisa dimana saja hampir tiap waktu, semua bisa
berjalan sedemikian nyamannya, karena jika dikampung sekalipun bukan keluarga
berada, untuk masalah makan, beras tidak perlu beli, lauk pun selalu tersedia,
cukup main ke kali, atau berkunjung ke kebun mengabil sayur, maka akan siap
tersaji.
Tetapi kini rasanya berbeda,
kondisi ini membuat ku mejadi tidak nyaman, seprti yang aku bilang, meskipun
bukan termasuk keluarga berada, hidup dikampung untuk masalah makan selalu ada,
beras tidak perlu beli, lauk pauknya pun demikian, kalaupun mau beli tinggal
jual dahulu beras atau bisa langsung di barter anatar beras dan ikan, ini masih
berlaku dikampungku, bahkan untuk beras dari panen ke panen stock selalu ada
dan tidak habis kecuali dijual untuk keperluan lain-lain diluar kebutuhan
sehari-hari. Begitupun dengan ku, hidup dikampung menurutku terlalu nyaman, sangat
nyaman. Bisa shalat fardu diawal waktu dan berjamaah, tetapi kenapa mesjid nya
selalu kosong dan kalaupun ada itu adalah satu atau dua orang yang sudah tua.
Padahal sungguh dikampung itu
sangat nyaman, jika setiap orang kampung bekerja tujuannya hanya untuk memenuhi
kebutuhan utamanya yaitu makan, maka mereka tidak perlu pergi ke kota, karena
di kampung sudah tercukupi, bahkan aku saja ketika berkunjung dari satu
keluarga ke keluarga lain, yang disuguhkannya adalah makan dan makanan. Maka
nikmat Tuhan mu yang mana lagi yang hendak kau dustakan?
Tetapi rupanya pelajaran diluar
kelas yang selama ini aku dapatkan telah membuat ku untuk tidak merasa nyaman
dengan kondisi ini, aku yang terbiasa mencari sesuap nasi harus kesana kemari,
jual ini jual itu, menawarkan ini dan itu kepada orang, atau harus melakukan
sesuatu dahulu baru peroleh makan. Maka kondisi dikampung yang begitu nyaman,
yang seharusnya membuat ku nyaman juga, rupanya tidak aku nikmati, aku gelisah
jika terus berada dalam kondisi demikian.
Pelajaran diluar kelas telah
merubah pikiran dan sikap ku dalam menikamti kenyamanan di kampung. Memang
kebaikannya banyak dengan kenyamanan di kampung, salah satunya bisa shalat dan
beribadah dengan tenang pada waktu yang tepat, tetapi hal itu juga tidak
dimanfaat kan oleh orang-orang kampung, justru aku melihat jumlah jamaah untuk
shalat di mesjid lebih banyak di mesjid-mesjid kota. Padahala jika ditelaah,
sungguh kenikmatan dikampung sangat banyak, dan juga waktu untuk ibadah sangat
luang.
Jika melihat sekilas, memang
dikampung begitu nyaman, terutama dalam hal persoalan hidup, bagi kebanyakan
orang kampung tidak perlu menguras pemikiran banyak-banyak untuk dicurahkan
kepada perpolitikan, perekonomian dan lain sebagainya yang ada dinegara ini,
bahkan dikapung cukup hidup dan beraktivitas dengan segala yang ada adalah
sebuah kebahagiaan, tidak disentuh kebijakan pemerintahpun tidak jadi masalah.
Padahal sebenarnya potensi itu ada dikampung, terutama perokonomian, contoh
kecil saja urusan makan, hampir diseluruh kota di negeri ini yang mengkonsumsi
nasi pasti berasal dari kampung, dari para petani, terlepas apakah itu impor
atau bagaimana, yang jelas memang di kampung adalah tempatnya segala ada jika
untuk urusan kenyamanan itu cukup dengan makan, jika hidup itu agar bisa
melanjutkan aktivias dihari esok, rasanya nya memamng cukup dengan terpenuhi
pangannya.
Tetapi lagi-lagi bagi ku kondisi
nyaman ini membuat gelisah, aku dan banyak lagi orang-orang kampung lainnya
lebih tertantang untuk tidak mendapatkan makan kecuali dengan setelah berupaya
di luar sana, sehingga kebiasaan itulah yang menolak untuk tidak dirumah dan
nikmati kenyamanan yang ada didalmnya. Selagi masih muda, aku ingin menikmati
pelajaran berharag diluar sana dengan tekad juga untuk ingin segera kembali ke
kampung agar mampu membenarkan yang salah dan memperbaiki persoalan yang
sebenarnya segudang namun tak terlihat di kampung.
Entah ini tulisan kemana
maksudnya, tetiba jemari mengetikkan kata demi kata hingga akhirnya tiba pada
kata dan kalimat yang ini. (ditulis sembari ngedsain di rumah.. hehehe)
1 Komentar
Merdeka bapa MuJang Kurnia PG, SA.
BalasHapus