REVOLUSI SOSIAL DI BANTEN, 1945 - 1946[1] (Di Pimpin Oleh KH. Ahmad Khatib dan KH Syam’un)



PANDEGLANG (21/04), Berdasarkan Laporan Hasil Penelitian (Naskah Publikasi) yang di tulis oleh  Suharto, M.Hum yang disusun pada tahun 1996, banyak hal menarik yang dapat dijadikan referensi bagi kita untuk mempelajari Sejarah Banten pada saat terjadinya Revolusi Sosial Tahun 1945-1946 baik mengenai kondisi, jalannya peristiwa tersebut maupun dampaknya terhadap perkembangan Banten pada umumnya. Tulisan disusun bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia tahun 1996.

1. BANTEN PADA MASA PENJAJAHAN
Pada masa Pergerakan  Nasional, organisasi Sarekat Islam (SI) dengan cepat mendapat sambutan  baik didaerah Banten, yang terkenal kefanatikannya terhadap Agama Islam. Hampir semua ulama di Banten masuk organisasi ini. Akan tetapi bagi mereka yang bertemperamen keras dan radikal dalam menghadapi penjajah, kepemimpinan SI dianggap kurang berani, mereka menghendaki kepemimpinan yang lebih tegas lagi, Keadaan ini dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui cara infiltrasi.
Pada tahun 1926 Banten menjadi ajang pemberontakan komunis yang mencemaskan Pemerintah Hindia Belanda. Pemberontakan itu mempunyai semangat kuat anti kolonial dan anti priyayi. Pimpinan pemberontakan terdiri dari tiga unsur, yaitu para ulama, kaum komunis setempat dan jawara. Koalisi ini pertama-tama didasarkan atas kebencian mereka terhadap Pemerintah Kolonial dan Pamongpraja. Pemberontakan tersebut gagal, empat orang pelakunya digantung, 99 orang diasingkan ke Digul, Irian Barat, dan ratusan lainnya dimasukan penjara untuk jangka waktu yang lama. Luka-luka yang dalam itu sangat membekas, akibatnya ialah kebencian mereka yang tak kunjung padam terhadap orang-orang Belanda dan Pangreh Praja.
Pada masa pendudukan Jepang, Penduduk Banten banyak yang bersedia bekerjasama dengan Jepang. Pada masa ini kedudukan kedua kelompok sosial yang dominan disana yaitu ulama dan Pangrehpraja mengalami perubahan yang mencolok. Pada masa Perang Pasifik, Islam diangkat dalam kedudukan resmi yang penting, yang pada masa sebelumnya dianggap sepi.  Kh. Akhmad Khatib dan KH. Syam’un diangkat menjadi Komandan Batalyon Peta yang berkedudukan di Banten. Ulama lainnya diangkat dalam kedudukan-kedudukan resmi yang kebanyakan dalam badan-badan yang berurusan dengan soal-soal keagamaan dan sosial. Pengangkatan beberapa ulama itu tampaknya dimaksudkan untuk menentramkan perasaan  orang Banten.
Pada masa yang sama, kelompok-kelompok kecil oposisi di bawah tanah berhasil mempertahankan hidupnya. Kelompok tertua diantara mereka terdiri dari para bekas anggota PKI, termasuk banyak bekas Digulis dan lainnya yang melarikan diri ke Malaya setelah pemberontakan itu gagal. Menjelang akhir tahun 1930-an, banyak bekas Diguliskembali ke kampung  halaman mereka yang kemudian mengadakan kontak dengan jawara-jawara setempat.
Kekurangan sandang dan pangan yang makin parah menjelang akhir tahun 1944 menimbulkan keresahan masyarakat. Situasi menjadi semakin buruk setelah memasuki tahun 1945, dan menjelang pertengahan tahun 1945 keresahan itu meluas.
Keresahan itu meningkat menjadi ketegangan sosial. Pada tanggal 16 Agustus 1945 terjadi kerusuhan, petani Cinangka  Anyer, mereka mendatangi Camat setempat untuk meminta agar bahan sandang yang dikuasai diserahkan kepada mereka. Ketika Camat menolak, rumahnya dirampok sehingga ia kabur ke Anyer minta bantuan. Wedana Anyer bersama Camat Cinangla begitu masuk desa itu segera diserang petani. Wedana itu terbunuh sedangkan anggota lainnya meloloskan diri.
————————————-
2. BERLANGSUNGNYA REVOLUSI SOSIAL
Tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Berita tentang proklamasi itu sampai di Banten pada tanggal 20 Agustus 1945, dibawa oleh beberapa Pemuda Jakarta yaitu Pandu Kartawiguna, Ibnu Parna, Abdul Muluk dan Aziz yang disuruh oleh Khairul Saleh. Mereka disuruh menyampaikan agar Pemuda Banten segera merebut kekuasaan dari tangan Jepang. Berita itu disampaikan kepada tokoh-tokoh masyarakat dan pemuda Banten seperti KH.Tubagus Akhmad Khatib,KH.Syam’sun, Ali Amangku dan Ayip Zuhri yang selanjutnya disebarluaskan kepada seluruh masyarakat Keresidenan Banten.
Kabar tentang kemerdekaan itu disambut gembira oleh rakyat, kecuali oleh beberapa orang yang merasa dirinya telah menyakiti hati rakyat pada masa sebelumnya yang merasa takut terhadap pembalasan. Rapat-rapat segera diadakan oleh tokoh-tokoh masyarakat dan pemuda karena pegawai pemerintahan, terutama pamongpraja bingung dan khawatir sehingga tidak mempunyai inisiatif untuk menguasai keadaan. Para pamongpraja tidak bisa dan berani memberi penerangan atau mengatasi hal-hal yang melewati batas akibat revolusi itu. Para anggota Peta setelah dilucuti senjatanya pulang ke tempat tinggal masing-masing dengan membawa oleh-oleh berupa terigu, mentega dan rokok.
Sehubungan dengan berita dan pesan Khairul Saleh itu, pada tanggal 22 Ahustus 1945 beberapa pemuda menurunkan Bendera Jepang di Hotel Vos, dan esok harinya dilakukan penurunan bendera dikantor-kantor Pemerintah Jepang. Melihat peristiwa tersebut, beberapa pejabat sipil Jepang di Banten meninggalkan daerah itu, diantaranya Syucokan(Residen) Banten yaitu Yuki Yoshii dan menyerahkan jabatannya kepada Fuku Syucokan(Wakil Residen) Raden Tirtasuyatna. Akan tetapi sebaliknya orang-orang Jepang Militer tetap berada di Pos masing-masing, melaksanakan perintah Sekutu menjaga Status Quo.
Sementara itu peristiwa yang terjadi di Cinangka Anyer merupakan awal pertentangan antara Pamong Praja dengan kelompok sosial revolusioner. Kekhawatiran di kalangan pejabat Jepang dan Indonesia bertambah besar. Pada bulan September 1945 ketegangan meningkat diseluruh Banten. Sementara itu baru pada tanggal 29 September 1945 Wakil Residen Banten (Raden Tirtasuyatna) diangkat menjadi Residen Banten. Penundaan pengangkatan itu diduga karena ia yang bukan putra Banten, meragukan hikmah Proklamasi Kemerdekaan dan hal itu menimbulkan kecurigaan dikalangan Kaum Revolusioner. Kaum Revolusiner makin berani melihat keengganan Jepang untuk mendukung Pemerintah Indonesia dan bulat tekad mereka untuk bertempur.
Disamping orang-orang Jepang Sipil, beberapa Pamongpraja yang berasal dari daerah Priangan juga banyak yang meninggalkan Banten karena takut menjadi sasaran luapan kemarahan rakyat karena bekas pejabat kolonial yang tidak disenangi. R.Tirtasuyatna yang baru menerima pengangkatan Jabatan dari Yuki Yoshii juga melarikan diri ke Bogor, meskipun ia telah ditunjuk oleh Pemerintah RI  sebagai Residen.
Sejak Tirtasuyatna melarikan diri dari Banten, jabatan Residen menjadi kosong, penunjukan sebagai gantinya belum dilakukan, sedang pejabat tinggi yang ada yaitu Bupati Serang (R.Hilman Jayadiningrat) tidak berani mengambil alih tanggung jawab sebagai residen. Dalam situasi demikian, hanya kelompok pemuda yang berani bergerak dan mengambil inisiatif untuk melucuti orang-orang Jepang yang ada di Serang dan sekitarnya. Usaha tersebut diprakarsai oleh Pemuda yang tergabung dalam Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang dipimpin oleh Ali Amangku.
Atas desakan Pemuda API diadakan perundingan dengan para tokoh masyarakat Kabupaten Serang antara lain KH.Akhmad Khatib, KH.Syam’un dan Zulkarnain Surya Kartalegawa. Dalam perundingan itu para pemuda mengusulkan kepada Pemerintah RI agar segera mengangkat KH.Akhmad Khatib sebagai Residen Banten dan KH.Syam’unmenangani urusan militer. Akhirnya pada tanggal 6 Oktober 1945 KH.Akhmad Khatib diangkat sebagai Residen Banten oleh Pemerintah Pusat melalui sebuah telegram.
KH. Tubagus Akhmad Khatib, putra KH.Tubagus Muhamad Waseh, adalah ulama Banten yang disegani masyarakat. Ia yang dilahirkan di Kabupaten Pandeglang pada tahun 1895, belajar pada beberapa pesantren di daerah Banten antara lain Pesantren Caringin yang dipimpin oleh KH.Tb.Asnawi (dikenal) sebagai Kiyai Caringin. Karena kepintaran dan kecerdasannya ia dijadikan menantu Kiyai Caringin. Sejak remaja ia aktif dalam gerakan pemuda, sehingga tahun 1920 menjadi Ketua Sarekat Islam Cabang Banten. Sikapnya yang keras dan tegas terhadap Belanda membuatnya dibuang ke Digul sehubungan dengan Pemberontakan Komunis tahun 1926. Lima belas tahun kemudian, waktu menjelang berakhirnya Pemerintah Hindia Belanda, ia dibebaskan kembali ke tempat tinggalnya di Caringin, kemudian memimpin pesantren mertuanya. Pada jaman Jepang ia diangkat menjadi daidanco Peta di daerah Banten.
Setelah Akhmad Khatib diangkat menjadi residen, yang pertama dilakukan adalah menyusun aparat bawahannya. Untuk membantu kelancaran pemerintahan. Khatib menunjuk Zulkarnaen Surya Kartalegawa sebagai Wakil Residen, sedangkan untuk Jabatan Bupati didaerah itu Khatib meminta pada para bupati lama untuk sementara tetap dalam jabatannya, dengan pertimbangan bahwa dalam masa transisi para bupati lamalah yang lebih mengetahui administrasi pemerintahan  didaerahnya. Para Bupati itu adalah R. Hilman Djajadiningrat (Bupati Serang), Mr.Djumhana (Bupati Pandeglang) dan R.Hardiwinangun (Bupati Lebak).
Setelah KH.Akhmad Khatib menjadi residen dan mengangkat kembali pejabat lama, terjadi intrik-intrik ketidakpuasan diantara sebagian pemuda. Mereka menghendaki pembaruan total dan mencap “orang-orang lama” itu sebagai “warisan kolonial”, “penghianat bangsa” dan dikhawatirkan nantinya membantu Belanda. Tuntutan itu oleh Residen tidak dikabulkan dan rasa ketidakpuasan itu akhirnya dimanfaatkan oleh kelompok lain untuk maksud yang lain.
Pada suatu hari, sekitar pukul 10.00 pagi, pada waktu di keresidenan berkumpulKH.Akhmad Khatib, KH.Syam’un dan Abdul Hadi, datang rombongan yang menamakan dirinya Dewan Rakyat. Dengan ancaman kasar mereka memaksa Residen untuk membatalkan Surat Pengangkatan Aparat Pemerintahan di seluruh Keresidenan Banten dan agar menggantinya dengan orang-orang yang ditunjuk oleh Dewan Rakyat. Pembatalan dan pengangkatan pejabat-pejabat baru itu harus dibacakan didepan umum esok harinya. Jika hal itu  tidak dilaksanakan, maka Dewan Rakyat akan melenyapkan orang-orang yang “tidak disenangi rakyat” .
Karena serangan yang tiba-tiba dan ancaman itu, Residen terpaksa menyetujui keinginan Dewan Rakyat itu. Residen terpaksa  menyusun aparat Pemerintah Daerah yang disesuaikan dengan runtutan Dewan Rakyat. Susunan Aparat itu adalah sebagai berikut KH.Akhmad Khatib tetap sebagai Residen, KH.Syam’un sebagai Bupati Serang merangkap Pimpinan Tertinggi TKR, KH.Tb. Abdulhalim sebagai Bupati Pandeglang dan KH. Hasan sebagai Bupati Lebak. Untuk jabatan Wedana, Camat bahkan sampai Lurah diserahkan kepada kaum ulama. Pada tanggal yang dijanjikan, pukul 10.00 pagi, dihadapan beberapa pejabat dihalaman keresidenan Banten diambil alih oleh Dewan Rakyat yang dipimpin oleh Ce Mamat.
Sementara itu, KH.Syam’un yang ditunjuk menangani Bidang Militer, segera merealisir Pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Keresidenan Banten, yang terdiri dari para bekas anggota PETA, Haiho, Hizbullah, Sabilillah, API dan lain-lain kelasykaran. Badan tersebut dipimpin oleh KH.Syam’un dan beberapa hari kemudian dibentuk pula BKR Laut Banten.
Dalam hal persenjataan, Pasukan BKR hanya memiliki beberapa senjata api. Dalam hal iniKH.Syam’un berusaha untuk mendapatkan senjata dari pihak Jepang. Untuk itu diadakan perundingan dengan pihak kempetai di Serang agar mereka menyerahkan senjatanya kepada BKR. Usaha secara damai itu akhirnya gagal dan setelah melihat pihak Jepang yang bersiap-siap menghadapi suatu serangan, dalam suatu terbatas tanggal 8 Oktober 1945, pimpinan BKR memutuskan untuk menyerangnya. Keputusan  itu disebarluaskan kepada pimpinan-pimpinan pemuda, masyarakat dan ulama di Kabupaten Serang.
Sore harinya para pemimpin pasukan dari beberapa Kecamatan datang di Serang untuk membicarakan Rencana Penyerangan secara rinci. Diputuskan untuk menyerang Markas Kempetai pada tanggal 10 Oktober 1945 setelah adzan Subuh dan Komando Penyerangan diserahkan kepada Ali Amangku. Malam harinya datang rombongan BKR dan pemuda pemuda dari beberapa kecamatan. Tanggal 9 Oktober beberapa pemimpin rakyat yang bersenjata dari seluruh pelosok Banten datang ke Markas BKR di Serang. Esok harinya, malam hari, diadakan perundingan lagi dengan pihak kempetai agar mereka menyerahkan senjatanya kepada Pihak Indonesia (Rakyat Banten). Akan tetapi karena pihak Jepang menolak, maka diputuskan bahwa Banten tidak mau adanya kekuasaan bangsa asing. Atas desakan rakyat akhirnya Markas Kempetai itu yang terdiri dari sekitar 200 orang dengan senjata lengkap, pada pagi hari tanggal 11 Oktober 1945, diserang. Penyerangan dipimpin oleh pemuda dan polisi, dibantu oleh barisan rakyat yang bersenjata golok dan parang. Pemuda dan Polisi Istimewa menyerwang sampai ke garis depan. Pertempuran berlangsung dua hari dua malam selama 16 jam yang memakan banyak korban. Akhirnya pihak Jepang kalah, dapat diusir dari Serang, mereka meloloskan diri ke Jakarta.
Penarikan tentara Jepang dari Banten menjadi lambang kemenangan yang penting artinya. Serangan selanjutnya diarahkan ke Penjara Utama di Serang yang tidak dijaga kuat. Banyak Jawara yang dipenjarakan disana, dibebaskan. Tanggal 13 Oktober mereka membunuh enam orang Eropa yang ditahan dipenjara itu. Ditempat lain terjadi penangkapan hampir semua orang yang meninggalkan tugasnya di Kantor Kabupaten. Beberapa priyayi lainnya ditangkap dan dipenjarakan.
Beberapa hari berikutnya pemerintah setempat hampir hancur sama sekali. Diseluruh Keresidenan Banten semua Pangrehpraja digantkan oleh para ulama. Dibeberapa tempat penggantian kekuasaan disertai kekejaman. Rapat-rapat umum diadakan untuk memilih para pejabat baru, yang kebanyakan ulama.
Kaum komunis setempat tidak menentang Pemilihan kaum Ulama untuk mengisi jabatan-jabatan resmi itu. Akan tetapi sebagai gantinya mereka memusatkan  perhatian pada Dewan Rakyat yang terdiri dari orang-orang yang sangat radikal dan revolusioner dibawah pimpinan Ce Mamat. (Ce Mamat pernah menjadi Sekretaris PKI Cabang Anyer, ikut dalam Pemberontakan Komunis Tahun 1926. Ia Kabur ke Malaya, tahun 1930 kembali ke Indonesia mendirikan Klub Studi Politik di Palembang dan Tahun 1932 pernah ditahan tapi kemudian dibebaskan. Ia lalu pulang ke Banten menjadi pengacara. Selama Perang Dunia ke-II dan jaman Jepang ia mengadakan hubungan dengan kelompok-kelompok di luar Banten. Tahun 1944 ia dan banyak temannya ditangkap Kempetai, dimasukan dalam penjara (Hudrey Kahin, hlm 63)
Dewan melaksanakan fungsinya sebagai Badan Eksekutif, sedangkan Residen dibuatnya hanya mempunyai kedudukan Simbolis. Dewan Rakyat membentuk kepolisian sendiri, yang dikenal dengan Polisi Keamanan Rakyat dan kemudian menjadi Polisi Khusus. Dewan juga membentuk Dewan Ekonomi Rakyat yang mengatur distribusi pangan. Dewan mengambil alih cadasngan beras, gula, garam dan tapioka dari Jepang dan membagi-bagikannya kepada rakyat dan mengatur penggeladahan rumah-rumah Priyayi.
Untuk menjaga keamanan rakyat, pada tanggal 18 Oktober 1946, KH.Syam’un (bekas daidanco) membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang terdiri dari bekas Perwira Peta yang tidak meninggalkan daerah itu, dan sebagai komandannya KH.Syam’un. Pembentukan TKR berjalan baik dan pesat, bahkan dibeberapa tempat pasukan ditempatkan di Asrama. TKR yang dibentuk itu sebagai Divisi I Komandemen Jawa Barat dengan nama Divisi 1000/1 (baca : seribu satu), sesuai dengan Maklumat Pemerintah tanggal 5 Oktober 1945, yang disampaikan lewat Surat Komandemen Jawa Barat tertanggal 12 Oktober 1945. Wilayah Divisi ini meliputi seluruh Keresidenan Banten dan daerah sebelah barat Sungai Cisadane, mulai dari Pantai Utara sampai Pantai Selatan. Yang menjadi Panglima Divisi adalah Kolonel KH. Syam’un. Esok harinya dibentuk Pangkalan I Tentara Laut, yang secara taktis dibawah Komando Divisi 1000/1 Banten. Setelah penyerbuan ke Markas Kempetai, pemerintah sipil berjalan apa adanya.
Pada tanggal 27 Oktober 1945 di Pendopo Kabupaten Serang diselenggarakan Rapat Besar yang dihadiri oleh wakil-wakil pemerintah dan rakyat yang dihadiri oleh sekitar 10.000 pengunjung. Dalam rapat itu Ce Mamat alias Muhamad Mansur sebagai wakil dari Rakyat melakukan penerimaan Pemerintahan Indonesia Merdeka. Lebih lanjut ia mengemukakan bagaimana seharusnya mewujudkan cita-cita Pemerintah Republik, dan untuk itu perlu dihilangkan pertentangan-pertentangan berbagai golongan. Dikatakan, jika masih ada yang salah hendaknya diperbaiki serta dengan serentak melakukan perlawanan terhadap musuh kita, yaitu NICA dan agen-agennya. Pidato itu disambut gembira oleh Pengunjung. Pembicara selanjutnya adalah KH.Ahmad Khatib, Residen Banten, lalu KH.Syam’un(Komandan TKR Banten), yang menyatakan sepenuhnya memegang teguh kedaulatan rakyat. Seluruh Keresidenan Banten siap mempertahankan kedaulatan RI, seluruh Banten siap menentang musuh mereka baik berupa NICA maupun kaki tangannya. Sampai saat itu NICA belum  berani datang ke Banten. Perahu-perahu Belanda yang mencoba mendarat di Pantai Utara Banten dapat dipukul mundur. Rakyat Banten insyaf bahwa mereka adalah warga RI dan hanya mengakui Presiden Soekarno sebagai pemimpin Negara Indonesia.
Perubahan personalia pemerintahan Banten sesuai dengan keinginan Dewan Rakyat itu akhirnya tetap tidak membuat situasi menjadi lebih baik. Kekacauan yang ditimbulkan oleh Dewan Rakyat tetap saja berlanjut. Hal itu karena aksi teror yang dilakukan oleh Pasukan Dewan Rakyat yang menamakan dirinya LASKAR GULKUT atau GUTGUT. (Gulkut akronim dari Gulung Bukut.  Bukut   artinya PamongPraja yang mereka nilai sebagai warisan kolonial. Gutgut adalah jawara-jawara, artinya bahwa mereka terdiri dari para jawara-jawara, Laskar
Setelah Dewan Rakyat berhasil merebut kekuasaan, pada malam harinya Laskar Gulgut menculik Bupati Hilman Jayadiningrat, kemudian diamankan di Penjara Serang. Sementara itu, Wakil Residen Zulkarnain Surya Kartalegawa yang juga mempunyai latar belakang yang sama, melarikan diri ke Priangan. Beberapa pejabat di daerah yang kelakuannya kejam terhadap rakyat dibunuh oleh Laskar Gulkut.
Kejadian di Banten itu mendorong Pemerintah Pusat untuk menanganinya. Pada tanggal 9-11 Desember 1945 Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta diiringi Jaksa Agung, Sekretaris Negara dan lain sebagainya meninjau daerah Banten. Sebelum pidato Presiden dan Wakil Presiden, dihadapan ribuan rakyat dan wakil-wakil rakyat Banten menegaskan kesanggupan mereka untuk mempertahankan Republik Indonesia. Mereka menyatakan berdiri dibelakang Pemerintah, melawan setiap penjajahan bangsa lain. Seorang wakil rakyat menyatakan dengan tegas bahwa desas-desus yang mengatakan bahwa Banten mau berdiri sendiri dan melepaskan diri dari Pemerintah Pusat, tidak benar. Dikatakan bahwa seluruh rakyat Banten berdiri di belakang Pemerintah RI dan siap mempertahankan kemerdekaan Indonesia sampai akhir jaman.
Wakil presiden Mohammad Hatta dalam pidatonya antara lain mengharapkan agar rakyat dari berbagai lapisan dan golongan memperkuat persatuan untuk menegakan negara Indonesia. Dengan panjang lebar diterangkan arti kedaulatan rakyat dan menginsyafkan mereka akan kewajiban rakyat terhadap negara. Diingatkan agar rakyat mengikuti petunjuk Pemerintah dan tidak berbuat menurut kehendak sendiri, karena perbuatan demikian adalah Anarki dan agar menentang setiap orang yang bertindak semaunya sendiri. Untuk mengatur dan menyusun penghidupan dan kesejahteraan rakyat diperlukan disiplin yang kuat. Hatta, diluar kebiasaannya berbicara, menyatakan bahwa Dewan Rakyat itu tidak berguna dan berseru agar dibubarkan.
Presiden Soekarno dalam pidatonya mengatakan bahwa baik buruknya sesuatu negara adalah menurut takdir Tuhan serta tergantung pada usaha dan ikhtiar rakyatnya sendiri. Dikatakan bahwa seluruh lapisan masyarakat harus cinta terhadap tanah air dan bangsa untuk bersama-sama mendirikan negara yang tidak ada kapitalisme dan imperialisme. Republik Indonesia bukan kepunyaan satu daerah, tetapi kepunyaan satu daerah, tetapi kepunyaan seluruh rakyat Indonesia.
Dimuka umum, Ce Mamat menjawab bahwa Dewan Rakyat adalah satu-satunya badan yang mewakili demokrasi rakyat yang sejati, sedangkan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) hanyalah pemberian Jepang. Unsur-unsur dalam Dewan Rakyat berusaha untuk menggunakan kunjungan Presiden itu sebagai peluang untuk mendemonstrasikan militansi revolusionernya. Ketika Soekarno–Hatta berada di Rangkasbitung pada tanggal 10 Desember 1945, para pendukung Dewan Rakyat menculik dan membunuh RT. Hardiwinangun, bekas  Bupati Lebak. Pembunuhan itu mengakibatkan adu kekuatan dengan pihak tentara tidak dapat dihindarkan.
Pembunuhan Hardiwinangun menyebabkan Dewan Rakyat banyak kehilangan pendukung. Kaum ulama cemas melihat jalannya peristiwa itu. Bagi pihak tentara, mendesaknya situasi diperjelas keika laskar-laskar Dewan di Serang pada tanggal 31 Desember 1945 menangkap Entol Ternaya, perwira senior TKR dan Oskar Kusumaningrat, bekas Kepala Polisi Keresidenan Banten. Keduanya diangkut ke Kubu Dewan di Ciomas untuk diadili karena kejahatan-kejahatan mereka di masa Belanda.
Pada hari itu juga terjadi pertempuran di Pandeglang ketika pendukung Dewan Rakyat berusaha untuk merebut senjata milik satuan TKR setempat. Selanjutnya tanggal 2 Januari Dewan Rakyat di Rangkasbitung menuntut penggantian Bupati Kiyai Abuya Hasan dan pengangkatan sebuah direktorium untuk mengawasi semua bagian pemerintahan dan semua pasukan bersenjata revolusioner.
Melihat adanya penculikan dan perampokan, Residen menginstrusikan kepada Pimpinan TKR Banten untuk secepatnya menumpas gerakan Dewan Rakyat. KH.Syam’un segera memanggil Ali Amangku, Tb.Kaking untuk menyusun siasat penumpasan. Langkah pertama adalah membebaskan R.Hilman Jayadiningrat dari penjara Serang yang tidak mengalami kesulitan dan kemudian menyerang Markas Besar Dewan Rakyat di daerah Ciomas. Hilman Jayadiningrat dan para Priyayi lainnya yang masih dipenjarakan oleh Dewan Rakyat, dibebaskan dan dibawa ke Sukabumi.
TKR di Rangkasbitung menuntut pembubaran Dewan Rakyat. Tuntutan itu tidak dipenuhi, maka terjadilah pertempuran. Pasukan Dewan Rakyat dengan mudah dikalahkan. Pada tanggal 8 Januari 1946 Pasukan TKR dari tiga kota penting di Banten menyerang pasukan Dewan Rakyat di Ciomas. Pertempuran yang berlangsung lebih dari 24 jam, baru berhenti setelah ada campur tangan pribadi Residen Akhmad Khatib. Dewan Rakyat terpecah, beberapa pemimpinnya yaitu Ce Mamat, Ali Arkam dan Akhmad Bassaif ditangkap. Sebagian besar anggotanya ditawan sedangkan sisanya melarikan diri ke daerah Lebak. Oekar Kusumaningrat dan Entol Ternaja yang ditahan ditempat itu, dibebaskan. Kedudukan KH. Akhmad Khatib tetap tidak tertandingi dan kaum ulama terus menduduki semua pos pemerintahan yang penting.
————————————-
3. DAMPAK REVOLUSI SOSIAL
Setelah ditumpasnya Dewan Rakyat pada bulan Januari 1946, radikalisme di daerah ini mereda, namun gangguan keamanan (garong) masih merajalela. KH. Tubagus Akhmad Khatib sekalipun mula-mula simpati kepada Dewan Rakyat, tetap menjadi residen, karena pengaruhnya yang besar diseluruh Banten. Kaum komunis yang lebih ortodoks yang berhasil menjaga jarak dengan Dewan Rakyat tetap menduduki Jabatan Penasehat. Di Pandeglang, Mohammad Ali (Mamak) membubarkan Komite Revolusioner Indonesia (KRI) tidak lama setelah Dewan Rakyat terguling. Sebagai gantinya dibentuk Komite Nasional Indonesia (KNI). Di Serang, tiga orang tokoh PKI yaitu Agus Solaeman, Mohammad Nur dan Tubagus Hilman mendirikan Biro Penerangan Rakyat. Agoes Soleiman dan Mohammad Ali juga menjadi anggota Badan Pekerja KNI Banten. Bekas pemimpin PKI juga banyak yang tetap menempati kedudukan penting dalam pemerintahan. Kaum ulama masih menduduki semua jabatan dalam Pemerintahan.
Pemerintahan RI di Yogyakarta mengkhawatirkan keadaan di Banten, ketika cita-cita kedaerahan muncul lagi. Isyaratnya adalah adanya program yang dilancarkan KH. Akhmad Khatib yang dilancarkan bulan September 1946 untuk memugar kembali Kota Lama Banten dan Pelabuhannya. Tanggal 8 September 1946 atas usaha Residen Akhmad Khatib didirikan Panitia Pembangunan Banten yang diketuainya. Panitia itu bermaksud membersihkan dan memelihara Mesjid Agung, membersihkan semua tempat bekas kesultanan yang sejak 1832 tidak terurus, membuka kembali bekas pelabuhan Banten dan membuat saluran air sampai ke Kalimati dekat mesjid. Pembersihan tempat-tempat tersebut, dilakukan secara suka rela oleh tidak kurang dari 500 orang setiap harinya. (Antara 30 Sept 1946; Berita Indonesia 30 Des 1946).
Muncul desas-desus bahwa kegiatan itu sebagai awal untuk memulihkan kembali kesultanan Banten Lama dengan Akhmad Khatib sebagai orang yang berhak mewarisi gelar Sultan. Karena isyarat ini, maka Mohammad Hatta pada bulan Oktober 1946 kembali mengunjungi Banten menemui Residen tersebut.
Dari peninjauan Hatta, maka daerah ini menjadi daerah yang mendapat perhatian dari Pemerintah Pusat. Susunan Pangrehpraja segera diperbaiki dan Pemerintah Pusat optimis akan hal ini karena disana tidak terdapat aliran-aliran yang menentang. Para Kiyai yang menduduki jabatan kepamongprajaan yang pada masa awal perang kemerdekaan diturut oleh rakyat karena pengaruh mereka, tetapi kemudian rakyat tidak merasa puas terhadap pemerintahan daerah. Pemerintah Pusat berusaha untuk memperbaikinya.
Setelah mengetahui situasi di Banten, Hatta mengadakan tindakan yang menentukan baik di Front Politik maupun militer. Kolonel A.H. Nasution mengkonsolidasikan lebih jauh terhadap Brigade I Siliwangi (sebelumnya “Divisi 1000”). Pada bulan Desember 1946, Letnan Kolonel Sukanda Bratamenggala dengan pasukannya dikirimkan ke Banten untuk mengambil alih komando. Pada waktu yang bersamaan, dibidang politik diadakan beberapa pengangkatan. KH.  Akhmad Khatib sebagai Residen dibantu yaitu dengan mengangkat Mr.Yusuf Adiwinata sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat yang berkedudukan di Serang dan Semaun Bakri sebagai Wakil Residen.
Untuk membantu para ulama yang masih menduduki sebagian besar jabatan, Pemerintah Pusat mengangkat Wedana Sipil dan Militer. Pengadilan Militer dan Satuan Khusus untuk menangani masalah Laskar dan Kejahatan, dibentuk.
Mulai tahun 1947 Pemerintah RI menempatkan tenaga-tenaga yang diperlukan untuk memajukan Banten. Majelis Ulama Banten dalam kongresnya tanggal 4 Maret 1947 meminta Pemerintah Pusat agar pegawai-pegawai yang ditempatkan di Banten adalah orang-orang yang sesuai dengan suasana Banten dan yang dicintai rakyat.
————————————-
4. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Revolusi Sosial di Banten yang dimulai bulan Oktober 1945 berupa penggantian pejabat-pejabat setempat oleh kaum ulama dan berkuasanya Dewan Rakyat yang dipimpin oleh Ce Mamat, tidak lepas dari keadaan sebelumnya yaitu pada masa penjajahan Belanda dan Jepang. Kebencian mereka terhadap Belanda dan pejabat-pejabat kolonial yang menekan mereka yang umumnya dari luar Banten, tidak pernah hilang dari hati mereka.
Kaum Ulama secara serentak dan spontan menggantikan kedudukan kepamongprajaan, karena memang pamongpraja yang ada itu tidak berbuat apa-apa, mereka takut dan bingung. Dalam Revolusi Sosial itu kaum ulama tidak melakukan kerjasama dengan kaum komunis setempat, melainkan dalam waktu yang bersamaan mereka melakukan aksi dalam rangka mencapai tujuan mereka masing-masing. Kegiatan mereka dalam menduduki jabatan-jabatan itu berlangsung berlangsung bersamaan dengan aksi kaum komunis setempat, karena saatnya memungkinkan.
Revolusi Sosial yang terjadi secara bersamaan antara kaum ulama dan Dewan Rakyat pimpinan Ce Mamat, menimbulkan kecurigaan Pemerintah Pusat terhadap Banten yang dinilai mau menentangnya. Dalam berbagai kesempatan sejak Revolusi Sosial itu berlangsung hingga beberapa bulan kemudian, pemimpin-pemimpin (kaum ulama) Banten menyatakan dengan tegas bahwa Banten berdiri dibelakang Pemerintah RI. Sesungguhnya yang mereka inginkan adalah mereka dapat mengurus daerah mereka yang selama itu sejak tahun 1832 ditelantarkan oleh Penguasa Setempat. Mereka ingin menjadi tuan di rumah sendiri. Sebelum itu mereka tidak mempunyai kesempatan atau kekuasaan untuk mengurusnya.
Kegiatan kaum ulama yang membangun Banten dengan memugar bangunan-bangunan kuno, yang menimbulkan desas-desus sebagai kegiatan awal dalam rangka menghidupkan Kesultanan Banten, mendorong Pemerintah Pusat untuk kembali mengunjungi Banten. Dari hasil kunjungan Mohammad Hatta ke Banten, disimpulkan bahwa Daerah ini perlu perhatian dari Pemerintah Pusat karena itu diangkatlah Yusuf Adiwinata (Putra Banten) sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat untuk daerah Banten yang ditempatkan di Serang, mengangkat Semaun Bakri sebagai Wakill Residen, dan mendatangkan pejabat-pejabat baru dari luar Banten.




[1] https://humaspdg.wordpress.com/2010/04/21/revolusi-sosial-di-banten-1945-1946/

0 Komentar