Bank Syariah; Ulama Harus Berperan


Oleh: Moh. Ujang Kurnia

Ulama adalah pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupum masalah sehari hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Makna sebenarnya dalam bahasa Arab adalah ilmuwan atau peneliti, kemudian arti ulama tersebut berubah ketika diserap kedalam Bahasa Indonesia, yang maknanya adalah sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama Islam.[1] Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ulama adalah orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama islam. Kata ulama berasal dari Bahasa Arab, bentuk jamak dari kata ‘aalim, yaitu orang yang berilmu. Sebagaimana firman Allah dalam QS al-Mujadalah ayat 11, yang artinya “Allah meninggikan derajat orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang diberi ilmu (ulama) beberapa derajat.”
Sebagai negera dengan mayoritas muslim terbesar maka istilah ulama sudah tidak asing lagi di negeri ini, hampir disetiap wilayah terdapat seorang yang disebut dengan ulama, baik sebutan dari masyarakat itu sendiri maupun dari kapasitas keilmuannya sehingga pantas untuk disebut seorang ulama. Ulama menduduki posisi penting dalam masyarakat Islam, tidak hanya sebagai figur ilmuwan yang menguasai dan memahami ajaran-ajaran agama, tetapi juga sebagai penggerak terhadap masyarakat kea rah pengembangan dan pembangunan umat. Hampir setiap ucapan ulama selalu di dengar dan dilakukan oleh masyarakat sepanjang itu tidak merugikan dalam kehidupan bermasyarakat, perilakunya selalu menjadi teladan dan panutan, memiliki kharisma terhormat dalam masyarakat, sehingga banyak berpengaruh dalam kehidupan masyarakat baik berupa penerimaan atau penolakan terhadap suatu gagasan, konsep atau program yang ada.
Peranan ulama sangatlah luas, seluas ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan. Bukan hanya pada aspek ibadah mahdhah, memberikan fatwa atau berdoa saja, melainkan mencakup berbagai bidang, baik politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dengan keilmuannya yang luas tersebut, tidak ada batasan bagi ulama hanya bergelut pada persoalan agama, fatwa dan akhlak saja. Kualitas dan kapasitas ulama mampu mendorong dan membimbing warga masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-harinya, maka ini merupakan kesempatan yang tepat untuk menggerakan masyarakat dalam menerapakan sistem ekonomi syariah terutama dalam penggunaan perbankan syariah. Setidaknya ada sepuluh macam peran ulama dalam memasyarakatkan perbankan syariah kepada umat, diantaranya:[2]
Pertama, ulama berperan menjelaskan kepada masyarakat bahwa ajaran  muamalah maliyah harus dihidupkan kembali sesuai dengan syariah Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Selama ini sebagian umat Islam memang telah melakukan aktivitas sekonomi maupun mengkaji ilmu ekonomi, tetapi sayang sekali, prakteknya banyak sekali bertentangan dengan syari’at Islam, seperti riba, maysir, gharar dan bisnis bathil. Aktualisasi muamalah tersebut diwujudkan dalam bentuk perbankan syariah, Asuransi Takaful, pasar modal syari’ah, Baitul Mal wat Tamwil,  Pasar Modal Syari’ah (Obligasi dan Reksadana Syariah), Pegadaian Syariah, Multi Level Marketing Syariah, dsb.
Kedua, ulama juga berperan menjelaskan bahwa keterpurukkan ekonomi umat Islam selama ini di antaranya disebabkan karena umat Islam mengabaikan fiqh muamalah. Kitab Ihya ‘Ulumuddin Al-Ghazali, misalnya hanya digali aspek tasawufnya saja,  sedangkan aspek ekonominya tidak dikaji dan dikembangkan. Demikian pula ratusan judul kitab-kitab fiqh. Yang menjadi bahasan prioritas para ustadz di masjid, khutbah jum’at, majelis ta’lim adalah mengenai aspek ibadah saja. Padahal sebagian kitab-kitab itu  berbicara mengenai muamalah. Kalaupun di sekolah tertentu (pesantren misalnya) mempelajari muamalah, sifatnya normatif dan dogmatis, belum dikembangkan sesuai dengan aplikasi perbankan..
Menurut Ketua Umum MUI Pusat, KH Ali Yafie, “karena umat Islam selama delapan abad mengabaikan ajaran muamalah, maka kondisi ekonomi umat mengalami kemunduran, berkubang dalam kemiskinan dan keterbelakangan dalam kemiskinan dan keterbelakangan. (Majalah Hidayatullah, Januari 1998).
Ketiga, ulama berperan menjelaskan kepada masyarakat bahwa perbankan syariah pada dasarnya adalah pengamalan fiqih muamalah maliyah, fiqih ini menjelaskan bagaimana sesama manusia berhubungan dalam bidang harta, ekonomi, bisnis dan keuangan. Bila umat telah menyadari bahwa membangun dan memasuki bank syariah merupakan ajaran muamalah, maka umat Islam pasti tidak mau lagi memakan riba yang sangat dikutuk Islam dan merupakan dosa besar yang diperoleh dari bank konvensional.
Keempat, mengembalikan masyarakat pada fitrahnya. Menurut fitrahnya, baik fitrah alam dan maupun fitrah usaha, umat Islam adalah umat yang menjalankan syariah dalam bidang ekonomi, seperti pertanian, perdagangan, investasi dan perkebunan, dsb. Budaya demikian, kata Syafi’i Antonio, telah dirusak oleh liberalisasi dunia perbankan, sehingga masyarakat tercemari oleh budaya bunga yang sebenarnya bertentangan dengan fitrah alam dan fitrah usaha. Bahkan ironisnya, karena ketidakberdayaan (maaf) ulama di masa silam, ada di antara ulama membolehkan saja bunga yang dipraktekkan di dalam perbankan. Fitrah alam dan fitrah usaha tidak bisa dipastikan harus berhasil, karena sebuah usaha bisa untung besar, untung kecil, malah bisa rugi. Sedangkan dalam konsep bunga usaha dipastikan berhasil. Padahal yang bisa memastikan hanya Allah (lihat surah Luqman :34, “Seseorang tidak bisa mengetahui (secara pasti) berapa hasil usahanya besok”).
Kelima, ulama menjelaskan kepada ummat keunggulan-keunggulan sistem ekonomi Islam, termasuk keunggulan sistem bank syariah dari bank konvensional yang menerapkan bunga.. Jadi, ulama sebenarnya mempunyai peran penting dalam pengembangan produk perbankan syariah, karena para ulama umumnya mengusai dan bisa mengajarkan fiqih muamalah, seperti konsep mudharabah, musyarakah, murabahah, ba’i salam, ba’i istisna’, ba’i  bit tsamanil ‘ajil, wakalah, kafalah, hiwalah, ijarah, qardhul hasan, dsb
Keenam, membantu menyelamatkan perekonomian bangsa melalui perkembangan dan sosialisasi perbankan syariah. Krisis ekonomi di penghujung dekade 1990-an menjadikan perekonomian bangsa mengalami kehancuran. Suku bunga terpaksa dinaikkan, agar dana masyarakat mengalir ke perbankan sebagai tambahan darah bagi kehidupan bank. Namun, ternyata kebijakan itu semakin memperparah penyakit perbankan. Perbankan mengalami negative spread akibat bunga yang dibayar lebih tinggi dari bunga yang didapat. Kenyataan ini terjadi pada semua bank konvensional, sehingga sebagiannya terpaksa tutup (likuidasi), sebagian lagi dapat rekapitulasi dalam jumlah besar (ratusan triliunan rupiah dari pemerintah dalam bentuk BLBI).Namun BLBI yang menggunakan instrumen obligasi ternyata telah menghancurkan ekonomi bangsa, karena  bunga obligasi yang disumbangkan kepada bank konvensional tersebut telah menguras APBN kita setiap tahun secara signifikan.Hampir sepertiga APBN kita digunakan untuk membayar bunga tersebut. Karena itu sistem bunga wajib ditinggalkan dan hijrah ke sistem syari’ah. Bila ulama berhasil mengajak bangsa untuk kembali ke pangkuan syariah, insya Allah, perbaikan ekonomi bangsa, melalui institusi perbankan syariah dapat terobati dan sehat.
Ketujuh, mengajak umat untuk memasuki Islam secara kaffah (menyeluruh), tidak sepotong-potong seperti selama ini. Selama ini masih banyak kaum muslimin yang bergumul secara langsung dengan sistem riba yang diharamkan Al-Qur’an dalam bank konvensional. Menabung atau membuka rekening di bank syariah merupakan sebuah upaya menuju Islam Kaffah. Sehingga kita tidak lagi kapitalis dalam kegiatan ekonomi.
Kedelapan, menjelaskan kepada masyarakat tentang dosa riba yang sangat besar, baik dari nash Al-Qur’an, sunnah, pendapat para filosof Yunani, pakar non muslim, pakar ekonomi Islam, dsb.
Kesembilan, memberikan motivasi kepada masyarakat, khususnya para pengusaha kecil, menengah atau wirausaha, agar mereka memiliki etos kerja yang sangat tinggi, bekerja keras sesuai dengan ridha Allah dan bersifat jujur (amanah) dalam mengelola uang umat.
Kesepuluh, mengajak para hartawan dan pengusaha muslim agar mau mendukung dan mengamalkan perbankan syariah dalam kegiatan bisnis mereka. Dengan demikian, syiar muamalah Islam melalui perbankan syariah lebih berkembang dan diminati seluruh kalangan.



[1] Dikutip dari internet, http://id.wikipedia.org/wiki/Ulama
[2] Agustianto, Peranan Ulama dalam Sosialisasi Perbankan Syariah, dikutip dari internet, https://shariaeconomics.wordpress.com/tag/peranan-ulama/

0 Komentar