Yang di Kampung Tetap Miskin, Yang di Kota Semakin Kaya


Oleh: Mujang Kurnia (11 Agustus 2013)

Yang di Kampung Tetap Miskin, Yang di Kota Semakin Kaya

Kalimat tersebut terbersit dalam pikiran saya ketika suatu sore sedang berada di musholah, tatkala sedang akan melaksanakan shalat ashar. Sampai dengan dilksanakan nya shalat, saya masih terpikiran dan seusainya shalat, ingin sekali saya segera pulang dan menuliskan tentang keadaan ini.
Sebelum shalat dilaksanakan, setelah beberapa lama adzan di kumandangankan, ketika itu hanya ada seorang lelaki yang sudah cukup tua menanti jamaah yang lainnya sambil melaksanakan shalat sunnah terlebih dahulu, saya pun demikian (melaksanakan shalat sunnah) padahal suara adzan sudah cukup lama dikumandangankan, akan teteapi jamaah ternyata belum ada yang datang pula.
Terasa sudah cukup lama, si bapak2 pun terbangun dan mengintip dari celah2 kaca jendela sambil bergumam, “pada kemana ya ini kiayi?”. Dan hingga akhirnya Alhamdulillah terlihat seorang kiayi sedang menuju ke musholah.
Setelah lama menanti, dan datang lah kiyai yang langsung saya persilahkan untuk memimpi shalat berjamaah setelah mengumandangkan iqomat.
Selalu saja kejadian ini terjadi disaat shlat dzuhur dan Ashar. Yang menjadi pertanyaan saya adalah, kemana para masyarakat di kampung ini ketika dzuhur dan Ashar, sedangkan mushola begitu nyata dan terletak ditengah-tengah kampung (tidak jauh dari mananpun). Pertanyaan berikutnya adalah, kemana juga para pemuda yang harusnya mengisi shaf paling terdepan ketika shalat.
Saya sangat menyayangkan, setiapa kedua waktu shalat ini, selalu saja tiada akan jamaah. Terkadang bahkan, tiada yang adzan pun, sekalinya ada yang adzan pun itu hanya ada makmum dan imam saja berdua.
Tulisan ini hanya lah bentuk pandangan saya saja terhadap kondisi ibadah dan kaitannya terhadap kehidapan perekonomian masyarakat.
Ya, saya berani mengatakan bahwa, sangat berkaitan dan berpengarauh besar sebuah ibadah terhadap kesejahteraan masyarakat.
Sambil pulang dari musholah saya berpikir, mungkin inilah kenapa sebuah perkampungan akan tetap menjadi perkampungan yang seadanya, dan bahkan kurang dari kesejahteraan hidup, karena dalam beribadahpun diperkampungan itu tidak begitu giat dan terkesan semaunya saja.
Padahal yang saya liat dan perhatikan, pengajian kitab selalu dilaksanakan dan menjreng-jreng dikumandang tiap sepekan sekali di muholah-mushola oleh para kiyai yang ada, tetapi sampai hari ini yang saya lihat, tidak ada pengaruhnya terhadap peningkatan jumlah jamaah yang melakukaan shalat dimusholah atau mesjid khususnya untuk para kaum laki-lai yang diwajibkan untuk shalat di mesjid.
Lalu selama ini apa yang diperoleh dan diberikan dari pengajian kitab itu? Akan kah benar seperti yang disampaikan oleh guru ngaji saya ketika itu sambil bergumam, pengajian seperti itu tidak akan pernah efektif, karna hanya sebatas dengar saja (ngaji denge, dalam bahasa Sunda).
Rasanya memang benar saya katakan, karena bagaimana tidak, selain jamaah shalat yang tidak pernah banyak dan bahkan pernah tiada jamaah, (saya mengalami ini ketika shalat dzuhur, setelah saya adzan sampai dengan iqomat, tiada satupun yang datang). Ketika shalat berjamaah pun, baik itu kiyai yang mengerti dan tahu hukum shalat berjamaah ataupun masyaraka yang awam akan ilmunya. Dalam melaksanakan shalat berjamaah saya berani mengatakan terlihat tidak begitu sempurna dalam baris dan atau shaf nya.
Ya, baik seorang kiyai, sepuh dan atau masyarakat lainnya ketika shalat berjamaah di kampung (khususnya kampung saya) jika kita perhatikan shaf dan barisnya, tidak pernah rapat dan atau rapih. Terlebih sekarang disetiap musholah sudah terdapat sajadah dengan format memanjang dan diseting agak lebar. Abis sudah deh, posisi shalat semakin berjauahan seakan sedang bermusuhan. Itu terjadi pada semuanya, baik kiyai dan atau masyaraka biasa.
Bukan maksud saya menyalahkan semua hal ini, dan saya pun tidak bermaksud merasa paling berilmu disini, tapi bukankah shalat itu alangkah lebih sempurnanya ketika barisan dan shafnya lurus serta rapih? Dan tentunya juga ketika jamaahnya banyak dan bersemangat untuk melaksanakan shalat jamaah.
Lalu pertanyaannya saya selanjutnya adalah, apa yang diperoleh dan di ajarkan selama ini dalam pengajian kitab itu? Sedangkan kondisi yang sangat penting saja yaitu perkara shalat masih seakan diabaikian. Padahal kita ketahui bersama, shalat adalah amalan pertama yang kelak akan ditanyakan di akherat.
Dari latar belakang itulah, mungkin saya akan mengatakan dengan memberikan perbandingan, bahwa tingkat kesejahteraan hidup di dunia adalah dipengaruhi pula oleh tingkat keseriusan dalam beribadah.
Saya akan membandingkannya antara kesejahteraan kampung dan di kota, dengan mengambil sisi yang paling positifnya saja, karena kita pun memahami, setiap kesempurnaan atau hal yang baik, pasti saja ada sisi yang tidak sempurnanya, begitupun sebaliknya, setiap hal buruk apapun, pasti memiliki sisi positif atau baiknya.
Sekali lagi, bukan saya meragukan dan merendahkan masyarakat kampung karena saya pribadi pun lahir dan besar dikampung, tetapi ini adalah sebuah kenyataan yang dapat saya pelajari dan menjadi sebuah kegelisahan saya akan keadaan sebuah kampung.
Sampai hari ini, seperti yang saya gambarkan di atas, kenapa masyarakat kampung tingkat kesejahteraahnya masih kurang, mungkin alasannya karena tingkat beribadah mereka juga masih kurang, (mohon diluruskan, ini hanya sebatas pandangan saya saja). Itu berarti membuktikan bahwa, tingkat ibadah suatu masyarakat sangat berkaitan dengan tingkat kesejahteraan masyarakt itu sendiri. Ataukah sebaliknya, tingkat kesejahteraan masyarakt sangat mempengaruhi tingkat ibadah masyarakt itu? Rasanya tidak, pasti bermula dari ibadah terlebih dahulu, baru sejahtera, bukan sejahtera dahulu baru mau ibadah…
Sebagai perbandingan, kita lihat di perkotaan, hampir setiap waktu shalat, musholah atau mesjid selalu saja penuh atau paling minimal ada satu baris penuh dengan kondisi baris atau shaf yang rapat dan rapih. Kalau demikian, Bagaimana tidak sejahtera di sebuh perkotaan tersebut dan segala hal ada kalau bukan karena mereka (masyarakat kotanya) tidak meningkatkan ibadah dan memiliki keilmuan yang tinggi pula. (Inilah yang saya maksud nilai positifnya, meskipun sebenarnya banyak pula nilai negatifnya dari sebuah perkotaan, tapi buat apa kita membicarakan hal negatif jika yang positif dapat membangun kebaikan)
Di kota, ketika adzan berkumandang, masyarakatnya, baik yang muda sampai dengan yang tua, meraka berbondong-bondong menuju mesjid untuk shalat, mereka rela meninggalkan atau menunda pekerjaannya untuk melakasanakan shalat berjamaah terlebih dahulu.
Tetapi dikampung, ketiak adzan berkumandang, adakah yang bergegas menuju mesjid atau musholah dan meninggalkan pekerjaannya terlebih dahulu? Rasanya belum saya temukan, tapi saya percaya, suatu saat perubahan kebaikan akan muncul dan terbit dari sebuah kampung. Memang butuh perjuangan yang tidak akan sebentar, tetapi setidanya harapan itu masih ada.
Lalu tugas siapa sebenarnya dalam urusan ini? Jika kiyai yang selama ini saja dengan pengajiannya belum ada perubahan? Lalu siapa?
Ya Anda sendiri lah yang mengetahui kondisi ini…
Waallahualam bishoab….


Berambung… tulisan berikutnya melibatkan Tugas MUI belum di bahas….

0 Komentar