Yang di Kampung Tetap Miskin, Yang di Kota Semakin Kaya
Kalimat tersebut terbersit dalam pikiran saya ketika suatu sore sedang berada di musholah, tatkala sedang akan melaksanakan shalat ashar. Sampai dengan dilksanakan nya shalat, saya masih terpikiran dan seusainya shalat, ingin sekali saya segera pulang dan menuliskan tentang keadaan ini.
Kalimat tersebut terbersit dalam pikiran saya ketika suatu sore sedang berada di musholah, tatkala sedang akan melaksanakan shalat ashar. Sampai dengan dilksanakan nya shalat, saya masih terpikiran dan seusainya shalat, ingin sekali saya segera pulang dan menuliskan tentang keadaan ini.
Sebelum
shalat dilaksanakan, setelah beberapa lama adzan di kumandangankan, ketika itu
hanya ada seorang lelaki yang sudah cukup tua menanti jamaah yang lainnya
sambil melaksanakan shalat sunnah terlebih dahulu, saya pun demikian
(melaksanakan shalat sunnah) padahal suara adzan sudah cukup lama
dikumandangankan, akan teteapi jamaah ternyata belum ada yang datang pula.
Terasa
sudah cukup lama, si bapak2 pun terbangun dan mengintip dari celah2 kaca
jendela sambil bergumam, “pada kemana ya ini kiayi?”. Dan hingga akhirnya
Alhamdulillah terlihat seorang kiayi sedang menuju ke musholah.
Setelah
lama menanti, dan datang lah kiyai yang langsung saya persilahkan untuk memimpi
shalat berjamaah setelah mengumandangkan iqomat.
Selalu
saja kejadian ini terjadi disaat shlat dzuhur dan Ashar. Yang menjadi
pertanyaan saya adalah, kemana para masyarakat di kampung ini ketika dzuhur dan
Ashar, sedangkan mushola begitu nyata dan terletak ditengah-tengah kampung
(tidak jauh dari mananpun). Pertanyaan berikutnya adalah, kemana juga para
pemuda yang harusnya mengisi shaf paling terdepan ketika shalat.
Saya
sangat menyayangkan, setiapa kedua waktu shalat ini, selalu saja tiada akan
jamaah. Terkadang bahkan, tiada yang adzan pun, sekalinya ada yang adzan pun
itu hanya ada makmum dan imam saja berdua.
Tulisan
ini hanya lah bentuk pandangan saya saja terhadap kondisi ibadah dan kaitannya
terhadap kehidapan perekonomian masyarakat.
Ya,
saya berani mengatakan bahwa, sangat berkaitan dan berpengarauh besar sebuah
ibadah terhadap kesejahteraan masyarakat.
Sambil
pulang dari musholah saya berpikir, mungkin inilah kenapa sebuah perkampungan
akan tetap menjadi perkampungan yang seadanya, dan bahkan kurang dari
kesejahteraan hidup, karena dalam beribadahpun diperkampungan itu tidak begitu
giat dan terkesan semaunya saja.
Padahal
yang saya liat dan perhatikan, pengajian kitab selalu dilaksanakan dan
menjreng-jreng dikumandang tiap sepekan sekali di muholah-mushola oleh para
kiyai yang ada, tetapi sampai hari ini yang saya lihat, tidak ada pengaruhnya
terhadap peningkatan jumlah jamaah yang melakukaan shalat dimusholah atau
mesjid khususnya untuk para kaum laki-lai yang diwajibkan untuk shalat di
mesjid.
Lalu
selama ini apa yang diperoleh dan diberikan dari pengajian kitab itu? Akan kah
benar seperti yang disampaikan oleh guru ngaji saya ketika itu sambil bergumam,
pengajian seperti itu tidak akan pernah efektif, karna hanya sebatas dengar
saja (ngaji denge, dalam bahasa Sunda).
Rasanya
memang benar saya katakan, karena bagaimana tidak, selain jamaah shalat yang
tidak pernah banyak dan bahkan pernah tiada jamaah, (saya mengalami ini ketika
shalat dzuhur, setelah saya adzan sampai dengan iqomat, tiada satupun yang datang).
Ketika shalat berjamaah pun, baik itu kiyai yang mengerti dan tahu hukum shalat
berjamaah ataupun masyaraka yang awam akan ilmunya. Dalam melaksanakan shalat
berjamaah saya berani mengatakan terlihat tidak begitu sempurna dalam baris dan
atau shaf nya.
Ya,
baik seorang kiyai, sepuh dan atau masyarakat lainnya ketika shalat berjamaah
di kampung (khususnya kampung saya) jika kita perhatikan shaf dan barisnya,
tidak pernah rapat dan atau rapih. Terlebih sekarang disetiap musholah sudah
terdapat sajadah dengan format memanjang dan diseting agak lebar. Abis sudah
deh, posisi shalat semakin berjauahan seakan sedang bermusuhan. Itu terjadi
pada semuanya, baik kiyai dan atau masyaraka biasa.
Bukan
maksud saya menyalahkan semua hal ini, dan saya pun tidak bermaksud merasa
paling berilmu disini, tapi bukankah shalat itu alangkah lebih sempurnanya ketika
barisan dan shafnya lurus serta rapih? Dan tentunya juga ketika jamaahnya
banyak dan bersemangat untuk melaksanakan shalat jamaah.
Lalu
pertanyaannya saya selanjutnya adalah, apa yang diperoleh dan di ajarkan selama
ini dalam pengajian kitab itu? Sedangkan kondisi yang sangat penting saja yaitu
perkara shalat masih seakan diabaikian. Padahal kita ketahui bersama, shalat
adalah amalan pertama yang kelak akan ditanyakan di akherat.
Dari
latar belakang itulah, mungkin saya akan mengatakan dengan memberikan perbandingan,
bahwa tingkat kesejahteraan hidup di dunia adalah dipengaruhi pula oleh tingkat
keseriusan dalam beribadah.
Saya
akan membandingkannya antara kesejahteraan kampung dan di kota, dengan
mengambil sisi yang paling positifnya saja, karena kita pun memahami, setiap
kesempurnaan atau hal yang baik, pasti saja ada sisi yang tidak sempurnanya,
begitupun sebaliknya, setiap hal buruk apapun, pasti memiliki sisi positif atau
baiknya.
Sekali
lagi, bukan saya meragukan dan merendahkan masyarakat kampung karena saya
pribadi pun lahir dan besar dikampung, tetapi ini adalah sebuah kenyataan yang
dapat saya pelajari dan menjadi sebuah kegelisahan saya akan keadaan sebuah
kampung.
Sampai
hari ini, seperti yang saya gambarkan di atas, kenapa masyarakat kampung
tingkat kesejahteraahnya masih kurang, mungkin alasannya karena tingkat beribadah
mereka juga masih kurang, (mohon diluruskan, ini hanya sebatas pandangan saya
saja). Itu berarti membuktikan bahwa, tingkat ibadah suatu masyarakat sangat
berkaitan dengan tingkat kesejahteraan masyarakt itu sendiri. Ataukah
sebaliknya, tingkat kesejahteraan masyarakt sangat mempengaruhi tingkat ibadah
masyarakt itu? Rasanya tidak, pasti bermula dari ibadah terlebih dahulu, baru
sejahtera, bukan sejahtera dahulu baru mau ibadah…
Sebagai
perbandingan, kita lihat di perkotaan, hampir setiap waktu shalat, musholah
atau mesjid selalu saja penuh atau paling minimal ada satu baris penuh dengan
kondisi baris atau shaf yang rapat dan rapih. Kalau demikian, Bagaimana tidak sejahtera
di sebuh perkotaan tersebut dan segala hal ada kalau bukan karena mereka
(masyarakat kotanya) tidak meningkatkan ibadah dan memiliki keilmuan yang
tinggi pula. (Inilah yang saya maksud nilai positifnya, meskipun sebenarnya
banyak pula nilai negatifnya dari sebuah perkotaan, tapi buat apa kita
membicarakan hal negatif jika yang positif dapat membangun kebaikan)
Di
kota, ketika adzan berkumandang, masyarakatnya, baik yang muda sampai dengan
yang tua, meraka berbondong-bondong menuju mesjid untuk shalat, mereka rela
meninggalkan atau menunda pekerjaannya untuk melakasanakan shalat berjamaah
terlebih dahulu.
Tetapi
dikampung, ketiak adzan berkumandang, adakah yang bergegas menuju mesjid atau
musholah dan meninggalkan pekerjaannya terlebih dahulu? Rasanya belum saya
temukan, tapi saya percaya, suatu saat perubahan kebaikan akan muncul dan
terbit dari sebuah kampung. Memang butuh perjuangan yang tidak akan sebentar,
tetapi setidanya harapan itu masih ada.
Lalu
tugas siapa sebenarnya dalam urusan ini? Jika kiyai yang selama ini saja dengan
pengajiannya belum ada perubahan? Lalu siapa?
Ya
Anda sendiri lah yang mengetahui kondisi ini…
Waallahualam
bishoab….
Berambung…
tulisan berikutnya melibatkan Tugas MUI belum di bahas….
0 Komentar